kurang bahagia . fankie sugab.n

mari kita berjuang melawan hari

SEKTOR KEHUTANAN DITENGAH PUSARAN KRISIS GLOBAL

Sejak krisis moneter mengguncang ekonomi Indonesia tahun 1997, sektor kehutanan belum benar-benar pulih. Berbagai kebijakan pasca reformasi yang tidak terlalu pro terhadap sektor riil kehutanan menyebabkan upaya kebangkitannya dari krisis berjalan lamban. Ironisnya, stigma buruk telah mendorong berbagai instansi yang semestinya turut mendukung justru menghindari bahkan menjauhinya. Kini, sektor kehutanan benar-benar diambang kematian, tatkala badai krisis global kembali menghantamnya. Quo vadis ?

Potret Makro Ekonomi 2008

Di tengah fenomena harga bahan bakar minyak di pasaran internasional yang bersifat fluktuatif, Data BPS (2008) menyatakan bahwa pada triwulan II tahun 2008 ekonomi Indonesia tumbuh 2,4 % dibanding triwulan I tahun 2008. Dengan demikian, selama semester I tahun 2008 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai kurang lebih 6,4 %.

Secara sektoral, meskipun sektor industri pengolahan hanya tumbuh 4,1 %, namun ia tetap merupakan sektor penggerak ekonomi (prime mover) yang memberikan kontribusi terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dari separuh PDB atas dasar harga berlaku pada triwulan II tahun 2008 berasal dari tiga sektor terbesar, yaitu sektor industri pengolahan, sektor pertanian, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Masing-masing sektor memberikan kontribusi 27,3 %, 14,7 % dan 1,3 % terhadap PDB. Khusus untuk sektor pertanian, didalamnya juga termasuk subsektor perkebunan, kehutanan dan perikanan. Peran komoditas berbasis sumber daya alam dan berbasis lahan tersebut tercermin dari kinerja ekspor tahun 2008, dimana ekspor non migas memberikan kontribusi 23,2 %. Sementara sisanya berupa ekspor migas menyumbang 65,32 %. Hebatnya lagi, sumbangan ekspor non migas tersebut ternyata mampu memberikan kontribusi dalam bentuk surplus devisa senilai tidak kurang dari 6,03 miliar dolar AS. Sebaliknya, meskipun besar dari segi kontribusi nilai ekspor, namun eskpor migas ternyata justru menghasilkan defisit neraca perdagangan senilai 630,2 juta dolar AS.



Demikianlah, meskipun berbagai indikator ekonomi makro menunjukkan nilai yang positip, namun sebagai bagian integral dari perekonomian dunia, Indonesia tidak akan lepas dari dampak lanjutan dari gejolak ekonomi global. Indonesia, khususnya wilayah-wilayah yang selama ini menjadi pusat-pusat pertumbuhan diperkirakan akan terkena dampak lanjutan krisis kedua dari sektor utama, yaitu kekeringan likuiditas dan penurunan permintaan maupun harga-harga komoditas-komoditas utama Indonesia. Demikianlah, meskipun berbagai indikator ekonomi makro menunjukkan nilai yang positip, namun sebagai bagian integral dari perekonomian global, Indonesia tidak akan lepas dari dampak lanjutan dari gejolak ekonomi global.



Proyeksi Sektor Kehutanan 2009

Dengan kinerja ekonomi 2008 yang cenderung terus menurun di akhir kuartal ketiga, maka proyeksi pertumbuhan ekonomi 2009 yang mencerminkan kinerja ekonomi dikhawatirkan juga akan mengalami penurunan. Memang, yang paling parah terkena dampak dari krisis keuangan global ini adalah sektor finansial, seperti perusahaan investasi maupun kalangan bursa. Persoalannya, dewasa ini ternyata sektor riil juga telah mulai menggigil karena imbas krisis sektor finansial dalam bentuk seretnya likuiditas dan lemahnya daya beli konsumen.



Meskipun masih akan tumbuh dengan sedikit penyesuaian (baca :penurunan), ternyata tidak semua subsektor mampu bertahan dan memulihkan kembali kinerjanya dengan cepat. Berdasarkan proyeksi Pemerintah RI, semua subsektor tampaknya masih akan terus mengalami pertumbuhan postip. Bahkan, subsektor telekomunikasi akan masih melesat dengan angka pertumbuhan mencapai 10 %, disusul listrik, gas dan air minum serta subsektor bangunan masing-masing sebesar 6,5 %. Yang agak melambat namun masih akan bertumbuh positip adalah subsektor keuangan sebesar 5 %. Sementara penurunan pertumbuhan namun masih berada dalam kisaran positip adalah subsektor pertambangan migas sebesar 2,5 %. Bahkan, subsektor perkebunan yang -konon- mengalami penurunan nyata atas harga komoditasnya di pasar internasional sebagai dampak krisis global pun masih mampu bangkit untuk menghasilkan petumbuhan positip sebesar 2,5 %. Yang tentu saja pahit dan sangat menyesakkan dada adalah subsektor kehutanan yang terjerembab dan menghasilkan pertumbuhan minus 2,5 %. Sungguh sangat menyedihkan.



Meskipun optimis, namun dampak krisis yang kini berkembang lebih cepat dan lebih dahsyat dari perkiraan semua pihak -bahkan pemerintah RI sendiri- harus diantisipasi. Setidaknya, kecenderungan tersebut mengemuka dalam forum Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan jajaran Menteri dibawah Menteri Koordinator Perekonomian (5/2). Bahkan, sebagaimana diungkapkan Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian yang juga Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, pertumbuhan ekspor tahun ini diperkirakan akan melambat dibanding tahun lalu. Semula diprediksi pertumbuhan ekspor 5 %, kini diperkirakan hanya 2,5 %. Lebih jauh, Pemerintah bahkan sudah memperhitungkan pertumbuhan ekspor hanya 1 %. Dengan proyeksi pertumbuhan ekspor di atas, dapat dipastikan sektorkehutanan akan sangat terpukul karena dua hal. Pertama, episentrum krisis global ada di negara-negara yang selama ini menjadi pasar tradisional komoditas kehutanan, yaitu Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan konco-konconya. Kedua, sektor kehutanan tidak terlalu memperoleh perhatian untuk memperoleh stimulus fiskal. Parahnya, birokrasi di pusat dan daerah juga tidak terlalu antusias untuk membantu mempertahankan kinerja sektor riil kehutanan.



Anatomi Pengusahaan Hutan

Meskipun sektor kehutanan sesungguhnya tak pernah sepi dari krisis, namun harus diakui bahwa krisis keuangan global yang melanda dunia dewasa ini juga sangat berdampak terhadap kinerja sektor kehutanan. Anatomi atas problematika kegiatan pengusahaan hutan di hulu menunjukkan bahwa terdapat tiga masalah utama yang saat ini dihadapi sebagai dampak krisis keuangan global.



Pertama, keringnya likuiditas yang mengakibatkan setiap perusahaan mengalami kesulitan dana tunai (cash flow). “Sulit bahkan tiadanya dana segar sebagai akibat ketatnya mediasi perbankan sebagai dampak krisis keuangan global menyebabkan setiap perusahaan melakukan reorientasi skala prioritas kebutuhannya” ungkap Hartadi, mantan Ketua Umum Persaki yang kini menjadi Direktur Utama sebuah perusahaan kehutanan di wilayah Kalimantan Timur.



“Tentu saja, komponen-komponen anggaran penting dan mendesak yang sangat berkaitan dengan operasionalisasi perusahaan menjadi pilihan utama untuk direalisasikan. Sebaliknya, anggaran yang dirasa tidak terlalu berkaitan secara langsung dengan kegiatan operasional terpaksa harus dijadwalkan kembali” sambung pengusaha yang telah bergelut di bisnis perkayuan selama beberapa puluh tahun. Lebih jauh, menurut sumber dekat Media Persaki di kalangan pengusaha hutan, penetapan prioritas tersebut biasanya akan “mengorbankan” beberapa pos anggaran karena dianggap tidak langsung terkait dengan kelangsungan kegiatan operasional. Termasuk di dalamnya adalah biaya-biaya pelestarian lingkungan dan sosial kemasyarakatan. Bak buah simalakama, bila dibiarkan citra sektor kehutanan yang sudah buruk akan kian terpuruk.



Peroalan kedua adalah tingginya biaya produksi. “Tingginya biaya produksi, khususnya yang terkait dengan biaya tidak tetap (baca : variabel cost) sehingga seringkali mengakibatkan harga jual produk menjadi lebih rendah dibanding biaya produksi” ujar Rahardjo Benyamin, anggota Kamar Bisnis Dewan Kehutanan Nasional yang juga menjabat sebagai Direktur Utama sebuah perusahaan kehutanan di Kalimantan Timur. “Situasi tersebut tentu saja menempatkan pengusaha pada posisi dilematis. Tidak beroperasi salah, beroperasi justru makin salah karena kerugian akibat tingginya biaya produksi akan kian besar” ungkapnya pelan.



Rahardjo tidak salah. Salah satu sumber high cost economy adalah maraknya pungutan, baik legal maupun ilegal. Menurut sumber Media Persaki yang lain menyatakan bahwa sudah menjadi rahasia umum dengan otonomi daerah, efisiensi melalui kebijakan deregulasi dan debirokratisasi justru tidak kunjung terwujud. Sebaliknya, yang terjadi adalah maraknya Perda pungutan daerah, maupun peraturan tentang sumbangan pihak ketiga atas kayu bulat di berbagai daerah. “Hal ini sangat kontraproduktif karena telah mengakibatkan peningkatan biaya produksi yang cukup signifikan” sambung sumber Media Persaki yang enggan disebutkan jati dirinya.



Media Persaki juga memperoleh informasi valid dari kalangan pelaku usaha kehutanan bahwa dengan berbagai dalih, mulai dari pengecekan, pemeriksaan hingga pengawasan yang dilakukan oknum aparat (bahkan termasuk oknum aparat kehutanan), oknum aparat keamanan maupun oknum aparat penegak hukum lainnya di sepanjang jalur transportasi dari hutan menuju pelabuhan hingga industri telah menguras kantong pengusaha dan pelaku industri.



“Situasinya sudah berat karena ekonomi biaya tinggi telah menyebabkan daya saing produk kehutanan kian rendah dibanding produk-produk sejenis dari negara-negara jiran kompetitor Indonesia” ucap Achmad Husry, Ketua APHI Komda Kalimantan Timur. Bisik-bisik akan beratnya situasi di sektor kehutanan dikemukakan oleh berbagai sumber yang menyatakan bahwa kunjungan aparat -baik pusat maupun daerah- ke areal konsesi dalam setahun bisa mencapai 50 hingga 60 kali. Tidaklah mengherankan bila staf teknis dan para rimbawan yang bekerja di hutan tidak pernah meningkat kapasitasnya karena lebih banyak bertugas sebagai pendamping tamu. Untuk mengembangkan konsep pemikiran ataupun membuat berbagai upaya terobosan dalam konteks kelola hutan sudah tidak mungkin karena waktu mereka sudah tersedot habis untuk mengurusi hal-hal yang bersifat rutinitas. Sungguh ironis.



Ironisnya, stigma yang telah berkembang sejak dua hingga tiga dekade lalu tak pernah hilang, bahwa para pengusaha hutan tetap dipandang sebagai pengusaha yang selalu untung dengan margin keuntungan sangat besar karena memperoleh “windfall profit” dari tegakan hutan alam. Padahal, seperti istilah anak muda gaul sekarang, para pengusaha hutan saat ini sudah sangat “termehek-mehek” menghadapi situasi yang berkembang. Masalahnya, stigma tersebut harus didobrak sehingga investasi sektor kehutanan yang kini telah mencapai angka US$ 27,7 milyar tidak mangkrak, namun justru mampu menjelma kembali menjadi asset nasional yang produktif. Kita tunggu saja.

www.persaki.org

0 komentar:

Posting Komentar

Ipsum Tempor

Followers

About Me

Foto saya
aku akan menemukanmu diantara rumput yang bergoyang (@fangkibagusn)

Guest Book